Berikutini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya: Asy-Syaukani rahimahullah adalah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 869) dan Al-Imam Muslim (no. 445) dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh para wanita
Setelah gagal menyulut sentimen kesukuan ditengah para shahabat Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam, kaum munafik tidak lantas putus asa. Mereka memanfaatkan insiden lain untuk menyebar racun di tengah kaum Muslimin. Peristiwa ini terkenal dengan haditsul ifki kisah dusta. Kisah ini bermula ketika istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mendapat giliran menyertai beliau Shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Muraisi’ ini yaitu Aisyah Radhiyallahu anhuma kehilangan kalungnya saat perjalanan menuju Madinah pasca peperangan. Dalam perjalanan pulang itu, mereka beristirahat di sebuah tempat. Saat itu Aisyah Radhiyallahu anhuma keluar dari sekedupnya semacam tandu yang berada di atas punggung unta untuk suatu keperluan. Ketika kembali ke sekedupnya, beliau Radhiyallahu anhuma kehilangan kalung, akhirnya beliau Radhiyallahu anhuma keluar lagi untuk mencarinya. Saat kembali untuk yang kedua kali inilah, beliau Radhiyallahu anhuma kehilangan rombongan, karena Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan pasukan beliau Shallallahu alaihi wa sallam berangkat. Para shahabat yang menaikkan sekedup itu ke punggung unta tidak menyadari bahwa Aisyah Radhiyallahu anhuma tidak ada di dalamnya karena dia masih ringan. Beliau Radhiyallahu anhuma tentu gelisah karena ditinggal rombongan, namun beliau Radhiyallahu anhuma tidak kehilangan akal. Beliau Radhiyallahu anhuma tetap menunggu di tempat semula, dengan harapan rombongan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam segera menyadari ketiadaannya dan kembali mencarinya di tempat mereka istirahat. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, sampai akhirnya salah shahabat Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Shafwân bin al-Mu’atthal as-Sulami lewat di tempat itu dan mengenali Aisyah Radhiyallahu anhuma , karena Shafwân Radhiyallahu anhu pernah melihat beliau Radhiyallahu anhuma saat sebelum hijab diwajibkan. Shafwân Radhiyallahu anhu kemudian membantu beliau Radhiyallahu anhuma . Shafwân menidurkan untanya agar Aisyah Radhiyallahu anhuma bisa naik unta sementara Shafwân menuntunnya sampai ke Madinah. Sejak bertemu dan selama perjalanan, Shafwân Radhiyallahu anhu tidak pernah mengucapkan kalimat apapun kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma , selain ucapan Innalillah wa Inna Ilaihi Raji’un karena kaget saat mengetahui Aisyah Radhiyallahu anhuma tertinggal. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong. Diantara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah Abdullah bin Ubay Ibnu Salul. Cerita bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa shahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita ini. Mereka adalah Misthah bin Utsâtsah sepupu Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Hassân bin Tsâbit dan Hamnah bintu Jahsy Radhiyallahu anhum. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam sedih dengan berita yang tersebar, bukan karena meragukan kesetiaan istri beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam percaya Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Shafwân Radhiyallahu anhu tidak seperti yang digunjingkan. Berita yang sangat menyakiti hati Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ini memantik kemarahan para shahabat dan hampir saja menyulut pertikaian diantara kaum Muslimin. Sebagai respon dari berita buruk ini, Sa’ad bin Mu’âdz Radhiyallahu anhu menyatakan kesiapannya untuk membunuh kaum Aus yang terlibat dalam penyebaran berita dusta ini, sementara Sa’ad bin Ubâdah Radhiyallahu anhu tidak setuju dengan sikap Sa’ad bin Mu’adz ini, karena diantara yang tertuduh terlibat dalam penyebaran berita ini berasal dari kaum Sa’ad bin Ubâdah Radhiyallahu anhu. Hampir saja kekacauan yang diinginkan kaum munafik menjadi nyata, namun dengan petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla , Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam tampil menyelesaikan permasalahan ini dan berhasil meredam api kemarahan. Sehingga kaum munafik harus menelan pil pahit kegagalan untuk kesekian kalinya. AISYAH RADHIYALLAHU ANHUMA SAKIT Awalnya, Aisyah Radhiyallahu anhuma tidak tahu kalau banyak orang yang sedang menggunjing beliau Radhiyallahu anhuma. Beliau Radhiyallahu anhuma menyadari hal itu, ketika jatuh sakit dan meminta ijin kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu di rumah orang tua beliau yaitu Abu Bakar Radhiyalla anhu. Betapa sakit hati beliau Radhiyallahu anhuma mendengarnya. Sejak saat itu, beliau Radhiyallahu anhuma susah bahkan tidak bisa tidur. Beliau Radhiyallahu anhuma berharap dan memohon agar Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada nabi-Nya melalui mimpi prihal permasalahan yang sedang dipergunjingkan halayak ramai. Beliau Radhiyallahu anhuma merasa tidak pantas menjadi penyebab turunnya wahyu. Oleh karenanya beliau Radhiyallahu anhuma berharap ada pemberitahuan lewat mimpi kepada nabi-Nya. PERINGATAN DARI ATAS LANGIT Sebulan penuh, Aisyah Radhiyallahu anhuma merasakan kepedihan dan juga Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam akibat ulah orang-orang munafik ini. Sampai akhirnya, Allâh Azza wa Jalla menurunkan sepuluh ayat al- Quran prihal berita dusta ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١١﴾ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ﴿١٢﴾ لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَٰئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ ﴿١٣﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٤﴾ إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾ وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ ﴿١٦﴾ يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿١٧﴾ وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿١٨﴾ إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿١٩﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar. 12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan mengapa tidak mengatakan, “Ini adalah berita bohong yang nyata.” 13. Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu ? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itu di sisi Allâh adalah orang- orang yang dusta. 14. Sekiranya tidak ada kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, akibat pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. 15. Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allâh adalah besar. 16. Dan Mengapa kamu diwaktu mendengar berita bohong itu tidak mengatakan, “Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau Ya Rabb kami, ini adalah dusta yang besar.” 17. Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. 18. Dan Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allâh mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. 20. Dan sekiranya bukan karena kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allâh Maha Penyantun dan Maha Penyayang, niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar.[ an-Nûr/2411-20] Dengan turunnya ayat ini, maka permasalahan ini pun menjadi jelas. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma merasa lega. Begitu juga yang dirasakan oleh kaum Muslimin, namun mereka merasa berang dengan orang-orang yang ikut andil dalam mencoreng nama baik ummul Mukminin. Abu Bakar as-shiddiq Radhiyallahu anhu tersulut emosinya ketika tahu bahwa Misthah bin Utsâtsah, sepupu beliau Radhiyallahu anhu yang selama ini dibantu ekonominya ternyata ikut andil dalam menyebarkan berita yang telah melukai hati Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan seluruh kaum Muslimin ini. Bahkan sampai beliau Radhiyallahu anhu bersumpah untuk tidak akan membantunya lagi. Lalu turunlah firman Allâh Azza wa Jalla وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allâh mengampunimu? dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [an-Nûr/24 22] Akhirnya Abu Bakar Radhiyallahu anhu membantu Misthah kembali karena mengharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla . Dalam ayat-ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla mencela mereka yang terperangkap dalam jebakan orang-orang munafik dan memuji kaum Mukminin yang tidak termakan isu ini dan menyikapinya dengan bijak sembari menyakini kedustaan berita ini. Diantara yang tersanjung dengan ayat ini adalah Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits yang memberitakan bahwa salah shahabat Rasûlullâh dari kaum Anshar saat mendengar berita ini, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau Ya Rabb kami, ini adalah dusta yang besar [HR. Bukhari, al Fath, 28/110, no. 7370] Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa orang ini adalah Abu Ayyub Radhiyallahu anhu. Setelah perkara ini menjadi jelas, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam kemudian menuntaskannya dengan memberikan sanksi kepada mereka yang terlibat. PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS 1. Menyebarkan berita dusta merupakan salah satu metode kaum munafik dan musuh Islam untuk menyerang agama ini. Kisah di atas dan kisah sebelumnya pada edisi 10 menunjukkan hal ini. Maka hendaknya kaum Muslimin mengambil pelajaran dari kisah ini ! Terutama saat mendengar berita-berita yang mencederai nama kaum Muslimin dan menyikapinya dengan bijak. 2. Peristiwa ini menunjukkan kenabian beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang menerima wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Seandainya al-Qur’an itu buatan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana tuduhan orang-orang kafir, tentu Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam tidak akan membiarkan berita ini berlarut-larut. Namun fakta menunjukkan bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam menunggu wahyu dari Allâh Azza wa Jalla 3. Kisah di atas juga menunjukkan syari’at penegakan had qadzf sanksi karena menuduh kepada orang yang terbukti telah menuduhkan perbuatan keji kepada kaum Muslimin yang menjaga kehormatan mereka [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2010]._______Sumber Diangkat dari as-Siratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyah, Doktor Mahdi Rizqullah Ahmad. Artikel Ikuti Kajian materi ini Berikut ini merupakan rekaman kajian kitab “Ahsanul Bayan min Mawaqifi Ahlil Iman” karya Syaikh Abu Islam Shalih bin Thaha Abdul Wahid hafidzahullah, yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. yang membahas tentang nasihat-nasihat serta ibroh dari kisah-kisah yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kajian ini di sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek Studio Radio Rodja dan RodjaTV, pada Senin malam, 10 Jumadal Ula 1438 Pada kajian kali ini Ustadz Kurnaedi akan menyampaikan pembahasan tentang “Kisah tentang Berita Bohong yang Menimpa Aisyah radhiyallahu anha Haditsatul Ifki“. Semoga bermanfaat. {audio autostartyes}Berita Bohong yang Menimpa Aisyah
Dari'Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa seorang perempuan bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang mandi dari haid. Maka beliau memerintahkannya tata cara bersuci, beliau bersabda: "Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya.

Berdasarkan fakta sejarah, para anbiya yg sukses dalam berdakwah ialah mereka yang didukung oleh keluarga istri yg sholehah Nabi Muhammad saw didukung oleh siti Khadijah ra, aisyah ra Dan lainnya, Nabi Ibrahim as didukung oleh siti Sarah as Dan siti Hajar as. maka perlu adanya muzakarah tentang maksud Dan tujuan,fadhilah, Cara mendapatkan sifat wanita sholehah. Tulisan ini Hanya kumpulan muzakarah yg bersumber dari catatan, bayan, Dan kitab Fadhilah Amal serta sedekah. Tentunya Karena keterbatasan penulis masih jauh dari kata sempurna. Semoga bermanfaat.

SyaikhSyu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih) Kandungan hadits 1- Di antara keutamaan istri yang taat pada suami adalah akan dijamin masuk surga. Ini menunjukkan kewajiban besar istri pada suami adalah mentaati perintahnya. Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Surat An Nisa’ ayat 8 adalah ayat tentang warisan dan perbuatan baik. Berikut ini arti, tafsir dan kandungan maknanya. Keseluruhan Surat An Nisa’ النساء merupakan surat madaniyah. Aisyah radhiyallahu anha mengatakan, surat ini baru diturunkan setelah Rasulullah serumah dengan Aisyah di Madinah. Demikian pula ayat 8 ini juga termasuk ayat madaniyah. Surat An Nisa’ Ayat 8 dan ArtinyaTafsir Surat An Nisa’ Ayat 81. Tuntunan Waris dan Berbuat Baik kepada Kerabat2. Berbuat Baik kepada Anak Yatim dan Orang Miskin3. Pemberian Sekadarnya, Bukan Seperti Warisan4. Berkata yang BaikKandungan Surat An Nisa’ Ayat 8 Berikut ini Surat An Nisa’ Ayat 8 dalam tulisan Arab, tulisan latin dan artinya dalam bahasa Indonesia وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا Wa idzaa hadlorol qismata ulul qurbaa wal yataamaa wal masaakiinu farzuquuhum minhu waquuluu lahum qoulam ma’ruufaa ArtinyaDan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekadarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Baca juga Ayat Kursi Tafsir Surat An Nisa’ Ayat 8 Tafsir Surat An Nisa’ Ayat 8 ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, dan Tafsir Al Munir. Harapannya, agar bisa terhimpun banyak faedah yang kaya khazanah tetapi tetap ringkas. Kami memaparkannya menjadi beberapa poin dimulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas. 1. Tuntunan Waris dan Berbuat Baik kepada Kerabat Poin pertama Surat An Nisa’ ayat 8 ini berisi anjuran untuk berbuat baik kepada kerabat saat pembagian waris. وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, Yakni jika kerabat yang bukan ahli waris hadir saat pembagian warisan, hendaknya mereka juga mendapatkan pemberian. Ibnu Katsir menjelaskan, sebagian ulama berpendapat bahwa ini anjuran yang hukumnya sunnah. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar juga mencantumkan pendapat sebagaian ulama bahwa hukumnya sunnah. Namun, beliau juga sependapat dengan Said bin Jubair bahwa hukumya wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah hal ini sudah di-mansukh atau tidak. Imam Bukhari dan Az Zuhri termasuk yang berpendapat yang kedua. Bahwa ayat ini muhkam dan tetap berlaku. Buya Hamka juga menegaskan pendapat serupa. Demikian pula Sayyid Qutb. “Kami tidak melihat indikasi yang menunjukkan kemansukhannya. Bahkan kami melihatnya muhkamat dan hukum wajib memberikan bagian kepada ulul qurba, kerabat yang bukan ahli waris, dalam kondisi-kondisi seperti yang kami sebutkan,” kata Sayyiq Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. 2. Berbuat Baik kepada Anak Yatim dan Orang Miskin Tak hanya untuk kerabat, ayat ini juga menganjurkan berbagi kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ anak yatim dan orang miskin, Mengapa kerabat yang bukan ahli waris, anak-anak yatim, dan orang miskin yang hadir harus mendapatkan pemberian? Menurut Buya Hamka, ini sebagai obat untuk hati dan menghilangkan iri hati. “Obatilah hati mereka dan usahakanlah menghilangkan rasa iri hati mereka karena menjadi penonton orang membagi-bagi rezeki dengan tiba-tiba karena kematian seseorang,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar. Jika harta warisannya tidak berlimpah, setidaknya pemberian itu dalam bentuk jamuan makan. Ibnu Sirin mengatakan, ketika Ubaidah mengurus suatu surat wasiat, ia memerintahkan menyembelih kambing dan membagikan makanan itu kepada kerabat orang tersebut, anak-anak yatim dan orang-orang miskin. “Seandainya tidak ada ayat ini, niscaya biaya ini kuambil dari hartaku.” 3. Pemberian Sekadarnya, Bukan Seperti Warisan Pemberian seperti apa untuk kerabat bukan ahli waris, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin yang Surat An Nisa’ ayat 8 maksudkan? فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ maka berilah mereka dari harta itu sekadarnya “Apabila dalam pembagian warisan hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayit yang bukan ahli waris, hadir pula orang-orang miskin dan anak-anak yatim, sedangkan harta si mayit sangat banyak. Ketika mereka melihat si ini dapat warisan, si ini dapat warisan, tebersit pula keinginan mereka mendapatkan pemberian tetapi tidak ada harapan karena mereka bukan ahli waris. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka suatu pemberian dari harta warisan itu dalam jumlah sekadarnya. Sebagai sedekah buat mereka, sebagai kebaikan dan silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka,” terang Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sedangkan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar berpendapat, yang memberikan sedekah itu adalah orang yang mendapat warisan. Sebab mereka mendapatkan banyak harta secara tiba-tiba, maka patutlah mereka memberi kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Baca juga Surat Al Isra’ Ayat 26-27 4. Berkata yang Baik Poin keempat Surat An Nisa’ ayat 8 ini berisi perintah berkata yang baik. وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, Allah memerintahkan qaulan ma’rufa atau bertutur kata yang baik kepada semua orang, terlebih dengan para kerabat. Qaulan ma’rufa قولا معروفا adalah perkataan, permintaan maaf dan penolakang yang baik, halus, sopan, dan tidak menyinggung perasaan. Apa hubungannya dengan pemberian dan sedekah? Jangan sampai memberi sedekah tetapi kata-katanya menyakiti si penerima. Sebab hal itu bisa menghapus pahala sedekah sebagaimana firman-Nya الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. QS. Al Baqarah 262 Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga lisan. Hanya berkata yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam Arbain Nawawi 15 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. HR. Bukhari dan Muslim Baca juga Isi Kandungan Surat An Nisa’ Ayat 8 Kandungan Surat An Nisa’ Ayat 8 Berikut ini adalah isi kandungan Surat An Nisa’ Ayat 8 Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, tolong-menolong, dan menyambung ini memerintahkan untuk memberikan bagian/sedekah kepada kerabat yang bukan ahli waris, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin yang hadir saat pembagian warisan. Terutama jika warisan itu sangat pemberian tersebut adalah sekadarnya, tidak seperti warisan yang jumlahnya sangat banyak berdasarkan ketentuan sebagaimana hak ini memerintahkan untuk bertutur kata yang baik kepada siapa saja, terutama kepada kerabat. Juga berkata yang baik kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin, jangan menyakiti mereka. Demikian Surat An Nisa’ ayat 8 mulai dari tulisan Arab dan latin, terjemah dalam bahasa Indonesia, tafsir dan isi kandungan maknanya. Semoga bermanfaat, memotivasi kita untuk menyambung kekerabatan, suka berbagi, dan menjaga lisan. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] Berikutini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut. bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah 'Aisyah radhiyallahu 'anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang Salah satu istri Nabi yang mesti kita tahu keutamaan dan keistimewaannya adalah Aisyah. Aisyah adalah puteri dari sahabat yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Nama kunyah Aisyah adalah Ummu Abdillah. Ia dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berusia 6 tahun, pernikahannya berlangsung pada dua tahun sebelum hijrah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam baru menggauli Aisyah ketika usianya 9 tahun sebagaimana Aisyah menyebutnya sendiri, disebutkan hal ini dalam riwayat yang muttafaqun alaih Bukhari-Muslim. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal dunia ketika Aisyah berusia 18 tahun. Aisyah sendiri meninggal dunia di Madinah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Aisyah mewasiatkan pada Abu Hurairah untuk menyolatkannya. Aisyah meninggal dunia pada tahun 58 H. Lihat Jala’ Al-Afham, hlm. 297; 300. Keutamaan Aisyah Pertama Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam. Dari Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu, ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, أَىُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ » . فَقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا » “Siapa orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah”. Ditanya lagi, “Kalau dari laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.” HR. Bukhari, no. 3662 dan Muslim, no. 2384 Kedua Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak menikahi seorang perawan kecuali Aisyah. Ketiga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menerima wahyu ketika sedang berada di dalam selimut Aisyah dan hal itu tidak pernah terjadi pada istri beliau yang lain. Keempat Tatkala istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam diberi pilihan untuk tetap bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan kehidupan apa adanya atau diceraikan lalu akan mendapatkan gantian dunia, maka Aisyah adalah orang pertama yang menyatakan tetap ingin bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam bagaimana pun kondisi beliau. Itulah yang disebutkan dalam ayat, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا 28 وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآَخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا 29 “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami, pen. dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keredhaan Allah dan Rasulnya-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” QS. Al-Ahzab 28-29 Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika itu mengatakan, “Aku benar-benar ingatkan padamu. Janganlah engkau terburu-buru sampai engkau meminta izin kepada orang tuamu.” Aisyah berkata, “Tentu kedua orang tuaku tidak menginginkanku cerai.” Aisyah berkata pula, فَفِى أَىِّ هَذَا أَسْتَأْمِرُ أَبَوَىَّ فَإِنِّى أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ “Apakah dalam masalah ini saya harus meminta izin orang tua, karena saya menginginkan Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat?” Akhirnya, Aisyah menjadi contoh bagi istri-istrinya yang lain, mereka akhirnya berkata sebagaimana Aisyah.” HR. Bukhari, no. 4786 dan Muslim, no. 1475 Kelima Di antara keistimewaannya adalah bahwa Allah membebaskannya dari tuduhan bohong haditsul ifki, seperti disebutkan dalam surah An-Nuur ayat 11-20, pen., dengan menurunkan ayat akan kesuciannya. Ayat tersebut dibaca oleh para imam dalam shalat mereka sampai hari kiamat. Aisyah temasuk orang baik, dijanjikan ampunan dan rezeki yang baik. Allah juga menjelaskan bahwa berita bohong yang menimpanya adalah baik baginya dan bukan merendahkannya. Bahkan Allah mengangkat derajatnya pada derajat yang tinggi, bahkan terus disebutkan akan kebaikan dan terbebasnya dari tuduhan keji kepadanya oleh penduduk bumi dan langit. Alangkah indahnya sanjungan pada Aisyah tersebut. Awal Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Faedah Surat An-Nuur 05 Awal Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Lanjutan Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Faedah Surat An-Nuur 06 Lanjutan Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Berakhir Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Faedah Surat An-Nuur 07 Berakhir Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh Keenam Banyak dari kalangan pembesar sahabat radhiyallahu anhum jika menghadapi kesulitan dalam masalah agama, mereka meminta fatwa kepada Aisyah. Mereka mendapati ilmu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berada pada Aisyah radhiyallahu anha. Ketujuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal dunia di rumahnya, pada giliran harinya, pada malam harinya dan di pangkuannya, lalu dikuburkan di rumahnya. Kedelapan Pernikahan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan Aisyah bukan sembarang pernikahan. Akan tetapi perintah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal tersebut dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, di mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau ditampakkan padaku dalam mimpi selama tiga malam dalam riwayat Bukhari disebut dua kali, pen.. Ada malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih, lalu malaikat itu berkata, Ini adalah istrimu.’ Maka aku menyingkap wajahmu dan ternyata engkau, lalu kukatakan, إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjalankannya.’” HR. Bukhari, no. 3895 dan Muslim, no. 2438 Kesembilan Banyak orang yang memberi hadiah pada giliran harinya Aisyah yang di sana ada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar supaya menjadi dekat dengan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Disebutkan dalam hadits, “Para sahabat dahulu menyengaja memberikan hadiah-hadiah mereka kepada Nabi ketika giliran Aisyah. Kata Aisyah, Berkumpullah istri-istri yang lain di tempat Ummu Salamah.’ Lalu mereka berkata, Wahai Ummu Salamah, demi Allah orang-orang menyengaja memberikan hadiah-hadiah mereka pada giliran Aisyah dan bahwasanya kami pun menghendaki kebaikan sebagaimana Aisyah menghendakinya, maka mintalah kepada Rasulullah agar memerintahkan orang-orang untuk memberikan hadiah mereka kepada beliau di manapun giliran beliau.’ Kata Aisyah, Ummu Salamah menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kata Ummu Salamah beliau berpaling dariku, ketika beliau kembali pada giliranku, aku sebutkan lagi hal itu, maka beliau berpaling dariku, ketika aku menyebutkan hal itu ketiga kalinya.’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas berkata, يَا أُمَّ سَلَمَةَ لاَ تُؤْذِينِى فِى عَائِشَةَ ، فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَىَّ الْوَحْىُ وَأَنَا فِى لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا Wahai Ummu Salamah, jangan engkau menyakiti aku lantaran Aisyah karena sesungguhnya–demi Allah–tidak pernah turun kepadaku wahyu sedang aku berada di selimut seorang istriku di antara kamu, kecuali dia Aisyah.” HR. Bukhari, no. 3775 Kesepuluh Syariat tayamum turun lantaran Aisyah. Aisyah pernah meminjam sebuah kalung dari Asma’ lalu kalung itu hilang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas mengutus seseorang mencarinya lalu ditemukanlah kalung tersebut. Kemudian masuk waktu shalat sementara tidak ada air bersama mereka lalu mereka pun shalat, kemudian mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Allah pun menurunkan ayat tentang tayammum, maka Usaid bin Hudhair berkata kepada Aisyah, جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا ، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, tidaklah menimpamu sesuatu yang engkau benci melainkan Allah menjadikan padanya kebaikan bagimu dan bagi kaum muslimin.” HR. Bukhari, no. 336 dan Muslim, no. 367 Semoga keutamaan Aisyah menjadi teladan bagi kita semua. Wallahu waliyyut taufiq. Referensi Jala’ Al-Afham fi Fadhl Ash-Shalah wa As-Salaam ala Muhammad Khair Al-Anam. Cetakan kedua, Tahun 1431 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Hlm. 297-300. — Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat pagi , 21 Shafar 1439 H Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel

PengenalanAgama Islam ≡ Navigation. Home; About; Contact. Facebook; Twitter; Google+; Sitemap; Categories. Cat 1; Cat 2; Cat 3

Allah SWT telah memilih Aisyah radhiyallahu anha untuk kekasih-Nya Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Perempuan suci lagi mensucikan, al-shiddiqah binti al-Shiddiq, perempuan yang derajat keagungannya memenuhi tujuh lapis langit, pendidik para ulama, pengajar akhlaq, pendakwah yang memiliki lisan fasih, juru bicara para fuqaha, sejak kecil dan tumbuh kembang sebagai pemeluk agama Islam. Ia pernah berkataلم أعقلْ أبويَّ إلاَّ وهما يَدينان الدِّين“Sebelum aku tumbuh sebagai orang yang beraqal, kedua orang tuaku sudah memeluk Islam.”Dialah satu-satunya istri Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dinikahi masih dalam kondisi masih perawan, sebab belum pernah menikah sebelumnya. Kecintaannya pada Baginda shallallahu alaihi wasallam, digambarkan dalam banyak kitab manaqib sebagai yang tiada tertandingi. Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, menggambarkan keutamaan Aisyah dibandingkan dengan semua perempuan dari kalangan Ummat Muhammad shallallahu alaihi wasallam tersebut diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, sebagai berikutفضْلُ عائشةَ على النِّساء كفَضلِ الثَّريد على سائر الطَّعام“Keutamaan Aisyah dibanding perempuan-perempuan selainnya adalah bagaikan keutamaan al-tsarid mengalahkan jenis makanan lainnya.” HR. Bukhari dan MuslimMaksud dari hadis ini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah sebagai berikutقال العلماء معناه أن الثريد من كلّ الطعام أفضل من المرق, فثريد اللحم أفضل من مرقه بلا ثريد, وثريد ما لا لحم فيه أفضل من مرقه, والمراد بالفضيلة نفعه, والشبع منه, وسهولة مساغه, والالتذاذ به, وتيسر تناوله, وتمكن الإنسان من أخذ كفايته منه بسرعة, وغير ذلك, فهو أفضل من المرق كله ومن سائر الأطعمة، وفضل عائشة على النساء زائد كزيادة فضل الثريد على غيره من الأطعمة. وليس في هذا تصريح بتفضيلها على مريم وآسية; لاحتمال أن المراد تفضيلها على نساء هذه الأمة“Para ulama berkata, makna hadis ini adalah bahwasanya al-tsarid bubur merupakan makanan yang paling utama di antara berbagai jenis makanan lainnya dari kelompok al-muraq makanan lembut/kuah/kaldu. Bubur daging adalah lebih utama dibanding kaldu tanpa bubur. Bubur makanan yang tidak ada daging yang menggumpal di dalamnya adalah paling utama-utamanya muraq. Maksud dari utama ini adalah segi manfaatnya, mengenyangkan, dan mudah dicerna, serta kelezatan. Mudah dikonsumsi, dan memungkinkan semua orang bisa mengkonsumsinya dengan cepat. Itulah sebabnya, al-tsarid merupakan paling utama-utamanya muraq khususnya bila dibandingkan semua jenis makanan lainnya. Dan keutamaan Aisyah di antara perempuan lainnya adalah lebih banyak bagaikan kelebihan al-tsarid dari semua makanan ini tidak ada hubungannya dengan penjelasan keutamaan Maryam dan Aisyah, karena sifat khusus kandungan darihadis adalah mencakup semua perempuan dari ummat Muhammad ini.” Syarah Muslim, Juz 15, halaman 99.Penggambaran Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang keutamaan Aisyah radliyallahu anha ini seolah mengesankan adanya sifat multitalenta yang dimiliki oleh Aisyah. Itulah sebabnya, beliau digambarkan sebagai al-tsarid, semacam bubur sederhana yang siapapun bisa mengolahnya dan mengakui ini bukan merupakan yang irrasional, tapi justru sangat rasional. Pertama, dari sisi usia beliau yang masih sangat belia ketika dinikahi oleh Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dari faktor usia yang masih belia ini, maka sangat rasional bila daya hafalannya sangat kuat. Bahkan kemampuan pemahaman, penalaran dan komunikasi dalam menyampaikan gagasan. Itulah sebabnya, Aisyah radhiyallahu anha dijuluki oleh para ulama sebagai muhadditsatu al-fuqaha, yaitu juru bicaranya para ini kiranya tidak berlebihan, sebab beliau adalah istri Baginda shallallahu alaihi wasallam, yang sudah pasti mengetahui banyak seluk beluk soal fi’li perbuatan Nabi ketika ada di rumah. Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan olehnya, adalah sunnah fi’liyah, misalnya hadis tentang tata cara berwudhu, shalat, haji dan lain sebagainya. Tak urung, ada sekitar yang diriwayatkan oleh antara 7 sahabat yang meriwayatkan banyakhadis, Siti Aisyah radhiyallahu anha, menduduki urutan nomor 4 setelah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik. Tiga sahabat lain yang banyak meriwayatkan hadis, akan tetapi masih di bawah Aisyah adalah Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Abu Sa’id dari sisi periwayatanhadis, Siti Aisyah merupakan sejajar dengan para perawi hadis di kalangan sahabat-sahabat terkemuka lainnya. Yang paling menonjol dari sisi keunggulan hadis Aisyah ini adalah keberadaan hadis-hadits infirad bi al-riwayah hadis dengan sanad tunggal dan tidak diriwayatkan sahabat lainnya, karena berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam rumah tangga. Jadi, andaikan Siti Aisyah radhiyallahu anha tidak meriwayatkan hadis ini, maka hilanglah sebagian dari riwayat hadis penting dalam khazanah keilmuan Islam dan tidak sampai ke generasi dalam meriwayat hadis, Siti Aisyah radhiyallahu anha sangat ketat dalam memegang redaksi hadis. Ia menolak segala bentuk periwayatan bi al-ma’na. Suatu ketika dikisahkan, ada sahabat Urwah bin Wutsqa datang mengisahkan kepada Aisyah bahwasanya Ibnu Amr bin Ash telah menyampaikan sebuah hadisقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan.” HR Al BukhariAwalnya Siti Aisyah radhiyallahu anha menolak hadis ini. Sampai akhirnya ketika Ibn Amr bin Ash datang ke Madinah, diperintahkanlah olehnya Urwah bin Zubair ini untuk menghadapnya dan bertanya sekali lagi perihal hadis tersebut. Selanjutnya, setelah Urwah menghadap Ibn Amr, lalu kembali ke Aisyah radhiyallahu anha, ia menyampaikan bahwa Ibn Amr bin Ash telah meriwayatkanhadis itu dengan redaksi yang sama. Dari sinilah kemudian, Siti Aisyah baru menyatakan, bahwa menurutnya Ibnu Amr itu benar sebab ia meriwayatkan hadis itu dengan tidak menambah atau mengurangi redaksinya. Artinya, riwayat itu bi al-lafdhi dan tidak sekedar bi al-ma’na. Abdu al-Hamid Mahmud, al-Sayyidah Aisyah Ummu al-Mu’minin wa Alimatu al-Nisa’ al-Islam, Damaskus Dar al-Qalam, 1994, halaman 187.Inilah bagian dari peran penting Aisyah radhiyallahu anha dalam sejarah periwayatan hadis. Maka tidak heran, bila ia dijuluki sebagai muhaditsatu al-fuqaha’, mu’allimatu al-ulama pengajar para ulama, dan berbagai gelar lainnya yang disematkan padanya. Bahkan para sahabat perawi hadis lainnya juga turut mengaji kepadanya, seperti halnya Sahabat Abu Hurairah dan Anas bin Malik radliyallahu anhum ajma’in. Berikutadalah di antara bentuk tuntutan dari kata 'amr: 1. Untuk hukum wajib, artinya lafaz 'amr itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafaz itu. Dasarnya, hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim, ia berkata: Hal ini sesuai dengan kandungan hadits Suaminya adalah seorang Nabi, ayah dan ibunya adalah orang-orang yang pertama-tama masuk Islam, keluarganya adalah keluarga muslim pertama dalam sejarah, dan pernah mendapatkan pembelaan langsung dari Allah ketika nama baiknya dirusak orang-orang munafik, dia adalah Aisyah radhiyallahu anha. Mengapa Aisyah Radhiyallahu anha? Istri-istri Nabi, semuanya adalah orang-orang yang mulia dan terhormat, namun orang-orang munafik di zaman Nabi berusaha keras merusak nama baik Aisyah dengan menyebarkan tuduhan-tuduhan dan fitnah-fitnah. Orang-orang munafik ketika merusak nama baik Aisyah, sebenarnya mereka memiliki tujuan utama, yaitu Dengan merusak nama baik Aisyah, secara tidak langsung nama baik Nabi Muhammad juga akan rusak, dan jika nama baik Nabi rusak maka dengan sendirinya agama Islam juga rusak. Dengan merusak nama baik Aisyah, secara tidak langsung syari’at Islam juga akan rusak. Karena Aisyah menghafal dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi dalam jumlah yang sangat banyak. Hingga disebutkan dalam kitab Fathul Bari’ bahwa seperempat ajaran Islam, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anha. Sedangkan kita tahu bahwa salah satu sumber ajaran Islam adalah hadits. Jika penghafal hadits’ dirusak nama baiknya, maka hadits-hadits yang disampaikannya juga akan rusak, sehingga, ajaran Islam juga rusak. Inilah sebenarnya yang diinginkan orang-orang munafik ketika mereka merusak nama baik Aisyah Radhiyallahu anha. Meskipun demikian, usaha’ orang-orang munafik itu sia-sia saja. Allah berfirman إِنَّ الذينَ جاءُوْ بالإِفْك عُصْبَةٌ مِنْكُم لا تَحْسبُوه شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُو خَيرٌ لَكُمْ “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu.” [An-Nuur, 11] Dan inilah diantara alasan kenapa kita sangat butuh kepada riwayat hidup Aisyah Radhiyallahu anha yang penuh dengan kemuliaan dan kehormatan, tidak seperti yang dituduhkan’ orang-orang munafik dan orang-orang yang mengikuti orang-orang munafik dari zaman ke zaman. Hukum Menghina Aisyah dan Menuduhnya Berselingkuh Menghina orang yang beriman adalah perbuatan fasik, dosa besar, terlebih lagi yang dihina adalah istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Tentu dosanya jauh lebih besar dari menghina orang yang beriman secara umum. Hingga ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa menghina Aisyah, menuduhnya berselingkuh, seperti yang dituduhkan orang-orang munafik di zaman dahulu, dia kafir dengan sebab tuduhannya itu. Ibnu Abidin rahimahullah berkata “Adapun menuduh Aisyah berselingkuh, maka tuduhan semacam ini adalah kekafiran, tanpa adanya perbedaan pendapat ulama.” Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata “Siapa yang menuduh Aisyah dengan suatu tuduhan yang telah Allah bersihkan Aisyah dari tuduhan itu, maka dia kafir, tanpa ada perbedaan pendapat ulama, dan tidak hanya satu ulama telah menyatakan adanya kesepakatan tentang hal ini, dan tidak hanya satu ulama telah menegaskan hukum ini.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Umat Islam telah sepakat akan kafirnya orang yang menuduh Aisyah berselingkuh.” Imam Ibnu Katsir juga mengatakan hal yang sama dengan ulama-ulama sebelumnya, dan menjelaskan bahwa, sebab kafirnya orang yang menuduh Aisyah berselingkuh adalah karena orang tersebut sama saja menolak ayat Al-Quran yang menerangkan kebohongan tuduhan itu. Sebutan Kunyah Aisyah Radhiyallhu anha Aisyah Radhiyallahu anha memiliki sebutan lain, yang di dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Kunyah’, dan sebutan Aisyah adalah Ummu Abdillah. Sebutan ini berasal dari Nabi Muhammad, ketika Aisyah meminta kepada beliau untuk memberinya kunyah’ atau sebutan sebagaimana istri-istri yang lain. Lalu Nabi memberinya kunyah sebutan Ummu Abdillah. Julukan-julukan Laqab Aisyah Radhiyallahu anha Aisyah juga memiliki julukan-julukan yang menunjukkan kemuliaan dan kehormatannya; Ummul Mukminin Ibundanya orang-orang yang beriman Yang sangat menakjubkan adalah sebutan ini didapatkan langsung dari Allah, yaitu ketika Allah berfirman وَ أَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُكُم “Dan istri-istrinya istri Nabi Muhammad adalah ibu-ibu kalian orang-orang yang beriman.” [QS. Al-Ahzab, 6] Ini adalah julukan Aisyah yang paling terkenal, dan istri-istri Nabi yang lainnya juga dijuluki dengan julukan ini. Habibatu Rasulillah Wanita yang sangat dicintai Rasulullah Suatu ketika Nabi ditanya “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Nabi menjawab “’Aisyah”. [HR. Bukhari Muslim] Umar radhiyallahu anhu berkata “Sesungguhnya dia Aisyah adalah Habibatu Rasulillah’ wanita yang sangat dicintai Rasulullah.” Al-Mubarra-ah Wanita yang dibersihkan dari tuduhan Julukan ini berasal dari ayat Al-Qur’an yang berisi pembelaan Allah kepada Aisyah yang saat itu dituduh berselingkuh oleh orang-orang munafik. Yaitu firman Allah وَ الطَّيِّبَاتُ للطَّيِّبيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ للطَّيِّبَاتِ أُولئك مُبَرَّءُونَ مِمّاَ يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ و رِزْقٌ كَرِيْمٌ “Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia surga.” [An-Nuur, 26] Di dalam ayat ini ada sebuah celaan bagi orang-orang yang menuduh Aisyah saat itu, dan pujian bagi orang-orang yang membantah tuduhan-tuduhan itu. [Fathul Qadir, Imam Syaukany] Hingga, salah seorang perawi hadits yang bernama Masruq’, setiap kali meriwayatkan hadits dari Aisyah, masruq mengatakan “Telah menyampaikan hadits kepadaku Ash-Shiddiqah Aisyah binti Ash-Shiddiq Abu Bakar, Habibatu Habibillah Nabi Muhammad, Al-Mubarra-ah.” Ath-Thayyibah Wanita yang baik Allah telah memberi persaksian akan kesucian Aisyah melalui firman Nya وَ الطَّيِّبَاتُ للطَّيِّبيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ للطَّيِّبَاتِ أُولئك مُبَرَّءُونَ مِمّاَ يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ و رِزْقٌ كَرِيْمٌ “Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia surga.” [An-Nuur, 26] Ash-Shiddiqah Wanita yang sangat jujur Imam Masruq, Hakim dan Ibnu Hajar memberi julukan kepada Aisyah dengan Ash-Shiddiqah. Al-Humairaa’ Nabi pernah memanggil Aisyah dengan mengatakan “Wahai Humairaa’”, dan kata Humairaa’ berasal dari kata Ahmar’ yang artinya merah’. Namun, bukan berarti kulit Aisyah warnanya merah, akan tetapi maksudnya adalah kulit Aisyah berwarna putih yang bercampur dengan warna kemerahan. Dan warna seperti ini adalah warna yang paling indah. Dan orang Arab biasa menggunakan kata merah’ untuk mengungkapkan warna putih pada kulit. Al-Muwaffaqah Wanita yang diberi hidayah Nabi juga pernah memanggil Aisyah dengan mengatakan “Wahai Muwaffaqah.” Berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzy, dan sanad haditsnya dinilai shahih oleh syaikh Ahmad Syakir. Mengenal Beberapa Keluarganya Ayahnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu, khalifah pertama, sekaligus yang pertama masuk Islam, sedangkan ibunya adalah Ummu Ruman radhiyallahu anha. Aisyah memiliki beberapa saudara, yaitu Abdurrahman, Abdullah, Asma’, Ummu Kultsum, dan Muhammad. Semua bibinya adalah shahabiyat’ wanita yang bertemu dengan Nabi, beriman kepada Nabi dan meninggal di atas iman, yaitu Ummu Amir, Quraibah dan Ummu Farwah. Lahir di Masa Islam di Tengah-tengah Keluarga Muslim Aisyah lahir di Mekah, sekitar empat atau lima tahun setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Keistimewaan dari Aisyah dalam hal ini adalah beliau lahir di masa Islam, bukan di masa Jahiliyah, sehingga Aisyah tidak pernah mengalami masa jahiliyah. Selain itu, Aisyah dilahirkan dari dua orang muslim yang termasuk orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Nabi, yaitu Abu Bakar dan Ummu Ruman. Sehingga keluarga di mana Aisyah lahir dan tumbuh berkembang adalah keluarga muslim pertama’. Ibadahnya Jika kita membaca riwayat yang menceritakan tentang ibadah Aisyah Ummul Mu’minin, niscaya tanpa ragu sedikitpun kita akan mengatakan bahwa Aisyah adalah ahli ibadah. Dan berikut ini beberapa contohnya Salah satu keponakan Aisyah yang bernama Al-Qasim menceritakan “Aku punya kebiasaan jika keluar rumah aku mulai dengan mendatangi rumah Aisyah radhiyallahu anha, aku beri salam kepadanya. Pada suatu hari, aku keluar rumah, ternyata Aisyah radhiyallahu anha sedang berdiri, shalat sunnah dan membaca firman Allah surat Ath-Thur, 28 فَمَنَّ اللهُ عَلَيْنا و وَقَانا عَذابَ السَّمُوم Sambil berdoa dan menangis, mengulang-ulanginya. Aku berdiri menunggu Aisyah selesai shalat, hingga aku sendiri kelelahan, lalu aku pergi ke pasar untuk keperluanku, kemudian aku kembali dari pasar, ternyata Aisyah masih berdiri seperti sebelumnya, shalat sambil menangis.” [Dari kitab yang berjudul “Aisyah Ummul Mukminin”, sebuah ensiklopedi’ yang khusus membahas Aisyah radhiyallahu anha, yang asalnya adalah kumpulan beberapa karya ilmiah terkait dengan Aisyah radhiyallahu anha, yang diterbitkan yayasan Ad-Durar As-Saniyyah’, Saudi] Oleh Fajri NS
\n\n\n \n berikut ini yang bukan kandungan dari hadits aisyah radhiyallahu anha
Halini juga berdampak pada meningkatnya tekanan darah. Kadar gula darah dan kolestrol yang dapat memicu terjadinya stroke. Dari Aisyah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: "Janganlah kalian langsung tidur setelah makan, karena dapat membuat hati kalian menjadi keras." (H.R. Abu Nu'aim).
Pertanyaan Apa saja keutamaan Aisyah –radhiyallahu anha- ? , apakah anda mau memberitahu kami, agar kami para perempuan bisa menjadikannya qudwah ?, perkara ini penting bagi saya dan teman-teman saya pada saat kami belajar agama. Teks Jawaban Alhamdulillah. Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata “Di antara keistimewaannya adalah merupakan istri yang paling dicintai oleh Rasulullah –shallalahu alaihi wa sallam-, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan yang lainnya, suatu ketika Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- ditanya أي الناس أحب إليك قال عائشة قيل فمن الرجال قال أبوها “Siapa orang yang paling anda cintai?, beliau menjawab “Aisyah”, ditanya lagi Kalau dari laki-laki? beliau menjawab “Ayahnya”. Di antara keistimewaannya, bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- tidak menikah dengan perawan kecuali dengannya. Di antara keistimewaannya adalah bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- pernah menerima wahyu ketika sedang berada di dalam selimutnya, tidak pernah terjadi pada istri beliau yang lain. Di antara keistimewaannya adalah bahwa Allah pernah menurunkan ayat pilihan yang dimulai pilihan tersebut darinya ولا عليك أن لا تعجلي حتى تستأمري أبويك فقالت أفي هذا أستأمر أبوي فإني أريد الله ورسوله والدار الآخرة فاستنّ بها أي اقتدى بقية أزواجه صلى الله عليه وسلم وقلن كما قالت . “Janganlah kamu terburu-buru sampai kamu meminta izin kepada orang tuamu”, Aisyah berkata “Apakah dalam masalah ini saya harus minta izin orang tua, karena saya menginginkan Allah, Rasul-Nya dan negeri akherat, maka Aisyah menjadi qudwah bagi istri-istrinya yang lain –shallallahu alaihi wa sallam-, mereka berkata sebagaimna Aisyah berkata”. Di antara keistimewaannya adalah bahwa Allah membebaskannya dari tuduhan orang-orang pembawa berita bohong haditsul Ifki, dengan menurunkan ayat akan kesuciannya dan dibaca oleh para imam dalam shalat mereka sampai hari kiamat, dan ia temasuk orang-orang baik, dan dijanjikan ampunan dan rizki yang baik. Allah juga menjelaskan bahwa berita bohong yang menimpanya adalah baik baginya, dan bukan merendahkannya, bahkan Allah mengangkat derajatnya pada derajat yang tinggi, bahkan terus disebutkan akan kebaikan dan terbebasnya dari tuduhan keji kepadanya oleh penduduk bumi dan langit. Alangkah indahnya penyebutan biografinya tersebut….! Di antara keistimewaannya adalah banyak dari kalangan pembesar sahabat –radhiyallahu anhum- jika mereka menghadapi kesulitan dalam masalah agama, mereka minta fatwa kepadanya, mereka mendapatkan ilmu Rasulullah berada pada Aisyah –radhiyallahu anha-. Di antara keistimewaannya adalah bahwa Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- meninggal dunia di rumahnya, pada giliran harinya, pada malam harinya dan di pangkuannya, dan dikuburkan di rumahnya. Di antara keistimewaannya adalah seorang Malaikat memperlihatkan wajahnya sebelum Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- menikah dengannya seperti sutra yang jenisnya paling baik, maka Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda إن يكن هذا من عند الله يمضه . “Jika hal ini berasal dari Allah, maka Dia akan merealisasikannya”. Di antara keistimewaannya adalah bahwa banyak masyarakat yang memberi hadiah pada giliran harinya A’isyah yang di sana ada Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- untuk upaya menjadi dekat dengan beliau, mereka bersegera menyediakan apa yang dicintai oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- ketika beliau berada di rumah istri yang paling beliau cintai –radhiyallahu anhunna-. Jala’ul Afham 237-241 Wallahu a’lam.

Berikutini beberapa hadits shahih yang menunjukkan bolehnya puasa Rajab dalam arti puasa umum sebagaimana puasa sunnah lainnya, bukan puasa khusus yang memiliki keutamaan disbanding puasa lainnya. Dari Utsman bin Hakim al-Anshari radhiyallahu anhu , ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab, saat itu kami

Bismillahirrahmanirrahim.. Aisyah Radhiyallahu anha adalah Istri Rasulullah, Ummul mukminin. Aisyah dinikahi Rasulullah shalallahu alahi wa sallam atas perintah dari Allah Ta’ala yang disampaikan melalui malaikat Jibril, malaikat Jibril membawa foto Aisyah di atas kain sutra hijau untuk diperlihatkan kepada Rasulullah. Ada banyak keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki ummul mukminin Aisyah radhiyallahu anha, 3 diantaranya dibahas dalam kajian kalian ini 1. Aisyah adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah dari kalangan wanita. Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” HR. Bukhari dan Muslim 2. Syari’at tayammum disyari’atkan karena sebab beliau, yaitu tatkala manusia mencarikan kalungnya yang hilang di suatu tempat hingga datang waktu Shalat namun mereka tidak menjumpai air hingga disyari’atkanlah tayammum. Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah awal keberkahan bagi kalian wahai keluarga Abu Bakr.” HR. Bukhari 3. Aisyah adalah wanita yang dibela kesuciannya dari langit ketujuh. Prahara tuduhan zina yang dilontarkan orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi Muhammad lewat istri beliau telah tumbang dengan turunnya 16 ayat dalam surah An-Nur secara berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga hari kiamat. Allah Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan rezeki yang baik. Oleh karenanya, apabila Masruq meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu mengatakan, “Telah bercerita kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci dan disucikan.” ▶ 2 diantara 3 kemuliaan di atas kisahnya berawal dari sebuah kalung kesayangan yang dipakai Aisyah dan disebut Rasulullah sebagai “Kalung yang berkah”. Dalam shahih bukhari 2 kisah tentang kisah ini dikisahkan lansung oleh Aisyah. Para ulama menyampaikan terjadi diwaktu yang sama dan diperjalanan yang sama. Kisah Pertama Aisyah bertutur, “Bila Rasulullah ingin bepergian/perang, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang keluar undiannya, dialah yang dibawa serta dalam safar beliau. Dalam suatu safarnya guna melakukan peperangan,yaitu perang menghadapi Bani Mushthaliq dari Khuza’ah. Beliau mengundi di antara kami. Keluarlah namaku, hingga beliau membawaku dalam safar tersebut setelah turunnya perintah hijab. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, suatu malam dalam sebuah perjalanan perang, Aisyah yang mendapatkan undian mengikuti perjalanan suaminya tercinta, kehilangan kalungnya. Maka Rasulullah menghentikan perjalanan untuk mencarinya, lalu yang lainpun ikut berhenti. Saat itu telah habis persediaan air, maka mereka mendatangi Abu Bakar dan dan berkata “Cobalah kau lihat apa yang dilakukan Aisyah yang menyebabkan Rasulullah dan seluruh orang mencari-cari, padahal mereka tidak memiliki air.” Lalu Abu Bakar mendatangi Rasulullah yang saat itu meletakkan kepala beliau di atas pangkuan Aisyah dan tidur. Ia berkata “Engkau telah menghalangi Rasulullah dan orang-orang dari melanjutkan perjalanan, sedang mereka tidak mendapatkan dan memiliki air.” Keesokan paginya Rasulullah bangun dan hendak berwudhu untuk melaksanakan shalat Shubuh. Beliau mencari air, namun tidak menemukannya. Maka Allah Ta’ala menurunkan satu ayat kepada Rasulullah dengan memberikan rukhsah kemudahan dan keringanan berupa diperbolehkannya bersuci dengan cara bertayamum. Ayat yang dimaksud adalah ayat ke-43 dari surah An-Nisaa’. Di akhir matan hadits itu Aisyah menutup ceritanya dengan berkata “Lalu kami membangunkan unta yang aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di bawahnya. Peristiwa Kedua Peristiwa kedua masih di perjalanan yang sama, sepulang dari peperangan. Aisyah radhiyallahu anha menuturkan kisahnya Suatu malam saat perjalanan telah mendekati kota Madinah, rombongan berhenti untuk istirahat beberapa waktu. Aku pun keluar dari Haudajku untuk menunaikan hajat, berjalan jauh sendirian hingga meninggalkan rombongan pasukan tersebut. Selesai menunaikan hajat, aku kembali ke untaku. Namun ternyata kalung yang sebelumnya melingkar di leherku hilang. Aku pergi mencarinya hingga aku tertahan beberapa waktu karenanya. Sementara itu datanglah orang-orang yang bertugas mengangkat Haudajku. Mereka memikul dan menaikkannya ke atas unta yang aku tunggangi dalam keadaan menyangka aku berada di dalam haudaj tersebut. Kenapa demikian? Karena kaum wanita di masa itu kurus-kurus, tidak diberati dengan daging. Mereka hanya makan sedikit makanan. Orang-orang yang mengangkat haudajku itu tidak merasa ganjil dengan ringannya tersebut. Aku sendiri saat itu masih sangat belia 15 tahun. Unta-unta pun diberangkatkan bersama rombongan pasukan. Mereka melanjutkan perjalanan di akhir malam. Sementara itu aku telah menemukan kalungku yang hilang, namun rombongan pasukan telah berlalu. Aku kembali ke tempat mereka tadinya beristirahat, namun tidak seorang pun yang kutemui. Aku menuju ke tempat diletakkannya haudajku dengan keyakinan mereka akan menyadari ketidakberadaan diriku bersama rombongan hingga mereka kembali ke tempat tersebut untuk mencariku. Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur. Saat itu Shafwan ibnul Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja’nya innalillahi wa innailaihi rajiun ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara satu kata pun. Aku pun tidak mendengar darinya satu kata pun selain ucapan istirja’nya hingga ia menderumkan untanya, lalu membelakangiku. Aku naik ke atas unta tersebut dalam keadaan dituntun oleh Shafwan sampai kami berhasil menyusul rombongan pasukan saat mereka istirahat pada siang hari yang panasnya menyengat. Maka binasalah orang yang binasa dengan kejadian tersebut. Yang paling berperan menyebarkan berita dusta itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Kami akhirnya tiba di Madinah. Di awal kedatangan kami, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara orang-orang tenggelam dalam pembicaraan seputar tuduhan dusta terhadapku, dalam keadaan aku tidak mengetahuinya sedikitpun. Hanya saja aku melihat keganjilan. Tidak kudapati kelembutan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang biasa aku dapatkan bila sedang sakit. Rasulullah hanya masuk sebentar ke tempatku, mengucapkan salam, kemudian berkata kepada ibuku yang merawatku, “Bagaimana keadaan putri kalian?” Setelah itu beliau berlalu. Demikianlah keganjilan yang ada. Namun aku tidak menyadari bila ada berita jelek seputar diriku. Sampai akhirnya aku keluar dari rumahku dalam keadaan masih sempoyongan karena belum begitu pulih dari sakitku. Ummu Misthah menemaniku saat itu. Kami menuju ke tempat kami biasa buang hajat, dan kami tidak keluar untuk buang hajat kecuali pada waktu malam. Itu kami lakukan sebelum kami membuat WC dekat rumah kami. Perkara kami adalah sebagaimana perkaranya orang Arab yang awal dalam mencari tempat yang jauh untuk buang hajat. Dulunya kami merasa terganggu dengan bau tidak sedap bila membuat WC dekat rumah kami. Aku pergi bersama Ummu Misthah. Ia adalah putri Abu Rahm bin Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin Amir, bibi Abu Bakr Ash-Shiddiq. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah. Seselesainya dari urusan kami, aku dan Ummu Misthah kembali menuju ke rumahku. Ketika itu Ummu Misthah terpeleset, ia pun mengumpat anaknya, “Celaka Misthah.” “Jelek sekali ucapanmu”, tegurku, “Apakah engkau mencela seseorang yang pernah ikut dalam perang Badr?” “Wahai wanita yang lengah sedikit pengetahuan tentang tipu daya yang dilakukan manusia, tidakkah kau mendengar apa yang diucapkan oleh Misthah?” tanya Ummu Misthah. “Apa yang dikatakannya?” tanyaku. Ummu Misthah pun menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyebarkan berita dusta seputar diriku, hingga bertambah parahlah sakitku. Sesampainya di rumah, Rasulullah masuk menemuiku, mengucapkan salam lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” “Apakah engkau mengizinkan aku untuk pergi menemui kedua orangtuaku?”, pintaku kepada beliau. Ketika itu aku berniat mencari kepastian berita yang disampaikan Ummu Misthah kepada kedua orangtuaku. Rasulullah memberikan izin, maka aku pun mendatangi kedua orangtuaku. “Wahai ibunda, apa gerangan yang diperbincangkan orang-orang tentang diriku?” tanyaku kepada ibuku. “Wahai putriku, tenanglah jangan risau. Demi Allah, jarang sekali keberadaan seorang wanita jelita yang dicintai oleh suaminya, serta ia memiliki madu-madu melainkan dia akan banyak dibicarakan dan dicari-cari kesalahannya,” kata ibuku menghibur. “Subhanallah, berarti benar orang-orang membicarakan berita dusta tersebut?” tanyaku Sepanjang malam itu aku menangis hingga pagi hari air mataku tidak berhenti mengalir. Aku tidak bercelak untuk berangkat tidur, sampai pagi aku terus menangis. Ketika wahyu belum juga turun, Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk mengajak keduanya bermusyawarah, apakah menceraikan istrinya atau tidak. Usamah bin Zaid mengisyaratkan kepada Rasulullah dengan apa yang diketahuinya bahwa istri beliau terlepas dari tuduhan tersebut dan dengan apa yang diketahuinya dari kecintaan Rasulullah kepada istri beliau. “Wahai Rasulullah, tahanlah istrimu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan,” ujar Usamah. Adapun Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyempitkanmu. Wanita selain dia masih banyak. Namun bila engkau bertanya kepada budak perempuan itu Barirah, niscaya ia akan membenarkanmu.” Rasulullah kemudian memanggil Barirah. “Wahai Barirah, apakah engkau pernah melihat dari Aisyah sesuatu yang meragukanmu?” tanya Rasulullah. Barirah menjawab, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Tidak pernah aku lihat darinya suatu perkara pun yang aku anggap jelek, kecuali sekadar ia seorang wanita yang masih belia, yang tertidur/lalai dari menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datanglah kambing memakan adonan tersebut.” Pada hari itu Rasulullah bangkit mencari bantuan untuk membalas perbuatan Abdullah bin Ubai bin Salul. Beliau bersabda di atas mimbar, “Wahai sekalian kaum mukminin! Siapakah yang dapat membantuku menghadapi seseorang yang telah menyakitiku dalam urusan ahli baitku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari istriku kecuali kebaikan. Namun mereka telah menyebut-nyebut seorang lelaki shofwan yang aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah masuk menemui keluargaku kecuali bersamaku.” Bangkitlah Sa’d bin Mu’adz Al-Anshari sembari berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan menuntaskan sakit hatimu terhadap orang tersebut. Bila ia dari kalangan kabilah Aus kabilahnya, aku akan memenggal lehernya. Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami, orang-orang Khazraj, engkau perintahkan pada kami apa yang engkau kehendaki dan kami akan melaksanakan titahmu,” ucapnya. Sa’d bin Ubadah, pemuka orang-orang Khazraj, berdiri dan ia sebelumnya seorang yang sempurna keshalihannya, namun ia dihinggapi semangat kesukuannya hingga ia berkata kepada Sa’d bin Mu’adz, “Dusta engkau, demi Allah. Jangan engkau bunuh dia dan engkau tidak akan mampu membunuhnya.” Usaid bin Hudhair, anak paman Sa’d bin Mu’adz, berdiri dan ikut angkat suara menujukan kepada Sa’d bin Ubadah, “Dusta engkau, demi Allah. Kami sungguh-sungguh akan membunuh orang itu. Kamu memang munafik yang ingin berdebat membela orang-orang munafik.” Bangkitlah emosi dua kabilah ini, Aus dan Khazraj. Sampai-sampai mereka ingin mengobarkan peperangan sementara Rasulullah masih berdiri di atas mimbar. Beliau terus menerus menenangkan kedua belah pihak hingga mereka terdiam dan beliau pun diam.” Aisyah melanjutkan kisahnya, “Aku tinggal di hariku tersebut dalam keadaan air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak bercelak untuk berangkat tidur. Di pagi harinya, kedua orangtuaku telah berada di sisiku. Sungguh aku telah menghabiskan air mataku. Menangis sehari dua malam dan tidak bercelak. Air mataku tiada hentinya mengalir. Keduanya menyangka tangisan yang demikian akan membelah hatiku. Ketika keduanya sedang duduk di sisiku yang masih terus menangis, datang seorang wanita Anshar minta izin menemuiku. Aku mengizinkannya, ia duduk menangis bersamaku. Dalam keadaan demikian, Rasulullah masuk menemui kami. Beliau mengucapkan salam, kemudian duduk. Beliau belum pernah duduk di sisiku sejak tersebar fitnah tersebut. Telah lewat waktu sebulan, wahyu belum juga turun sehubungan dengan perkaraku. Rasulullah bertasyahhud ketika duduk, lalu berkata, “Adapun setelah itu, wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau begini dan begitu. Bila memang engkau terlepas dari tuduhan tersebut maka Allah akan menyatakan hal itu, Dia akan membersihkanmu dari tuduhan tersebut. Namun jika memang engkau berbuat dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena jika seorang hamba mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, Allah pasti akan menerima taubatnya.” Seselesainya Rasulullah dari ucapannya tersebut, menyusutlah air mataku hingga aku merasa tidak ada setetes pun yang keluar. Aku katakan kepada ayahku, “Mohon berilah tanggapan terhadap pernyataan Rasulullah itu.” “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah,” jawab ayahku. “Berilah jawaban kepada Rasulullah, wahai ibu,” kataku kepada ibuku. Beliau menjawab yang sama dengan jawaban ayahku, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.” Sebagai wanita yang masih belia belum banyak membaca/menghafal Al-Qur’an, aku menjawab, “Demi Allah, aku sungguh yakin kalian telah mendengar pembicaraan jelek tentang diriku hingga menetap di hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau aku katakan pada kalian bahwa aku berlepas diri dari tuduhan tersebut, dan demi Allah Dia tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut, niscaya kalian tidak akan membenarkanku tidak percaya dengan pengingkaranku. Kalau aku mengakui perkara tersebut benar adanya –padahal demi Allah Dia Tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut– kalian akan membenarkan pengakuanku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan permisalan untuk kalian kecuali ucapan ayah Yusuf Nabi Ya’qub yang berkata Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Allah sajalah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.” Yusuf 18 Kemudian aku palingkan wajahku ke arah dinding sembari berbaring di atas tempat tidurku. Ketika itu aku yakin diriku lepas dari tuduhan itu dan Allah akan membersihkan namaku karena memang aku tidak melakukannya. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu-Nya yang akan terus dibaca tentang perkaraku. Karena, bagiku urusan diriku terlalu rendah hingga Allah perlu membicarakannya dengan wahyu yang akan dibaca. Harapanku hanyalah agar Rasulullah bermimpi dalam tidurnya di mana dalam mimpi tersebut Allah menunjukkan terlepasnya diriku dari tuduhan itu. Demi Allah, Rasulullah belum meninggalkan tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari keluargaku yang beranjak keluar tatkala turun wahyu kepada beliau. Mulailah beliau mengalami kepayahan sebagaimana yang biasa beliau alami bila wahyu sedang turun. Sampai-sampai keringat semisal mutiara mengucur deras dari tubuh beliau padahal hari sangat dingin, karena beratnya ucapan yang sedang diturunkan. Tatkala berlalu kejadian itu dari diri beliau, beliau tertawa. Awal kalimat yang beliau ucapkan pada Aisyah adalah, “Wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu dari tuduhan tersebut.” “Bangkitlah menuju kepada Rasulullah,” perintah ibuku. “Demi Allah, aku tidak akan bangkit menuju kepadanya dan tidak ada yang kupuji kecuali Allah,” ucapku. Allah menurunkan ayat “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita dusta itu adalah golongan dari kalian juga maka janganlah kalian menyangka bahwa berita dusta itu buruk bagi kalian bahkan baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita dusta itu, baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kalian mendengar berita dusta itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa tidak berkata, Ini Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah orang-orang yang dusta di sisi Allah. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, dikarenakan pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. Ingatlah di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang sedikitpun tidak kalian ketahui sementara kalian menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan saja, padahal perkaranya besar di sisi Allah. Mengapa di saat mendengar berita bohong tersebut kalian tidak berkata, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal ini. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami, ini adalah dusta yang besar. Allah memperingatkan kalian agar jangan kembali berbuat seperti itu selama-lamanya, jika memang kalian orang-orang yang beriman. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua niscaya kalian akan ditimpa azab yag besar, dan Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih dari perbuatan keji dan mungkar itu selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” An-Nur 11-21 Ketika Allah menurunkan ayat yang menyatakan sucinya diriku dari tuduhan dusta tersebut, ayahku Abu Bakr Ash-Shiddiq yang biasanya memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kekerabatan dengannya dan juga karena kefakiran Misthah, menyatakan, “Demi Allah, aku selamanya tidak mau lagi memberikan sedikitpun nafkah kepada Misthah setelah ia membicarakan apa yang ia bicarakan tentang Aisyah.” Allah menurunkan ayat-Nya sebagai teguran “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan serta berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” An-Nur 22 Abu Bakr berkata, “Tentu, demi Allah, aku senang bila Allah mengampuniku.” Beliau pun kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana semula. “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah ini dari Misthah selama-lamanya,” ucapnya. Rasulullah sempat bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang perkaraku. “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau engkau lihat dari diri Aisyah?” tanya beliau. “Wahai Rasulullah, aku menjaga penglihatan dan pendengaranku. Aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan,” jawab Zainab. Di antara istri-istri Rasulullah , Zainab inilah yang menyaingiku dalam hal upaya ingin lebih dekat dengan Rasulullah dan mendapat tempat lebih di hati beliau. Namun Allah menjaga Zainab dengan sifat wara-nya sehingga ia tidak berucap buruk tentang diriku. Adapun saudaranya, Hamnah binti Jahsy, turut menyebarkan berita dusta tersebut karena ingin membela memenangkan saudarinya. Ia pun celaka bersama orang-orang lain yang turut menyebarkan berita dusta tersebut.” HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya Demikianlah penukilan secara makna dari hadits yang panjang tentang kisah fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah yang dikenal dengan haditsul ifk. Catatan 1ayat ini turun setelah perintah berhijab. Karena itulah Aisyah dibawa dalam sekeduphaudajnya yang tertutup dari pandangan orang-orang dan sekedup itu diletakkan di atas punggung unta. Karena bagian dalam sekedup itu tertutup dari pandangan mata, maka orang-orang yang memikulnya tidak tahu apakah Aisyah ada di dalamnya atau tidak, sebagaimana akan disebutkan dalam kelanjutan kisah Aisyah ini. 2 Karena ada atau tidak adanya Aisyah di dalamnya sama saja bagi mereka, tidak terlalu terasa bedanya, disebabkan ringannya tubuh Aisyah. 3 Aisyah sudah menyatakan tubuhnya kurus, ditambah lagi usianya masih kecil, belum genap 15 tahun, sehingga lebih menunjukkan ringannya tubuhnya. Seakan-akan Aisyah juga ingin menunjukkan udzur dari perbuatannya yang demikian bersemangat mencari kalungnya yang putus. Juga kenapa ia mencarinya sendirian tanpa mengajak teman atau memberitahu suaminya. Hal itu terjadi karena usianya yang masih kecil dan minim pengalaman sehingga tidak menyadari akibat yang akan didapatnya. Dari sini didapatkan pula faedah bahwa orang-orang yang memikul sekedup Aisyah sangatlah beradab terhadap Aisyah, amat jauh dari perbuatan mengintip isi sekedup. Sehingga ketika mereka mengangkat sekedup tersebut mereka tidak tahu bahwa Aisyah tidak berada di dalamnya. 4 Misthah dan ibunya termasuk muhajirin awwalin orang-orang yang pertama berhijrah ke Madinah. Ayah Misthah meninggal saat ia masih kecil, maka ia diasuh oleh Abu Bakr karena kekerabatannya dengan ibu Misthah. 5 Surah An-Nur ini melingkupi perintah dan larangan dalam rumah tangga dan sosil. 6 Qs. An Nur16 ” Dan mengapa kamu tidak berkata, ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” Selayaknya sebagai seorang mukmin apabila datang kabar berita bohong,fitnah atau yang tidak jelas sumbernya, maka kita mengatakan “ini bukan wilayah kami, tidak pantas kami membicarakan ini”. Kita saat ini hidup di zaman fitnah,maka berhati-hatilah dengan setiap kabar yang datang kepada kita. Seperti kalimat Abu Ayyub Al anshari kepada Istrinya “ini bukan wilayahmu, Aisyah lebih baik dari pada kamu, jika kamu saja tidak berani melakukan hal itu, maka bagaimana mungkin dengan Aisyah”. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak mencela mukmin yang lain, karena yang demikian sama saja mencela dirinya sendiri, dan jika seseorang tidak bersikap seperti ini, maka yang demikian menunjukkan imannya lemah dan tidak memiliki sikap nasihah tulus terhadap kaum muslimin. Allahu a’lam… Ambi Ummu Salman Depok,20062016 Disarikan dari materi Dauroh Wanita dalam AlQur’an yang disampaikan oleh Ashari,Lc di masjid Al Muhajirin Depok.
OylRp.
  • o17fuybr7w.pages.dev/84
  • o17fuybr7w.pages.dev/474
  • o17fuybr7w.pages.dev/431
  • o17fuybr7w.pages.dev/287
  • o17fuybr7w.pages.dev/300
  • o17fuybr7w.pages.dev/341
  • o17fuybr7w.pages.dev/384
  • o17fuybr7w.pages.dev/401
  • berikut ini yang bukan kandungan dari hadits aisyah radhiyallahu anha